Terkait Kejadian Viral Nikah 'Sekejap' di PALI, Praktisi Angkat Bicara


PALI. SININEWS.COM -- Terkait Kasus Pemerkosaan Anak di Bawah Umur yang Dinikahi Secara Tidak Sah dan Permintaan Cerai oleh Korban


I. Identitas Permintaan Pendapat


Dokumen ini disusun berdasarkan permintaan untuk memberikan analisis hukum terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan di bawah umur, yang setelah diperkosa, dinikahi secara tidak sah (siri) oleh pelaku, diiringi ancaman dan bujuk rayu agar korban tidak melapor kepada orang tua. Setelah menjalani “pernikahan”, korban menyadari dirinya sebagai korban pemerkosaan dan meminta cerai dari pelaku.


II. Kronologi Singkat


1. Korban adalah anak perempuan di bawah usia 18 tahun.


2. Korban menjadi korban pemerkosaan oleh laki-laki dewasa.


3. Pelaku membujuk korban agar tidak menceritakan kejadian tersebut kepada orang tua dengan janji akan menikahinya.


4. Pelaku kemudian melangsungkan pernikahan siri/tidak tercatat secara hukum negara.


5. Setelah itu, korban menyadari bahwa dirinya adalah korban kekerasan seksual dan meminta perpisahan (cerai).


III. Analisis Yuridis


A. Perbuatan Pemerkosaan terhadap Anak Merupakan Kejahatan

Berdasarkan Pasal 76D jo. Pasal 81 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 285 KUHP, perbuatan memaksa anak melakukan hubungan seksual dengan kekerasan, ancaman, bujuk rayu atau janji, merupakan tindak pidana berat. Karena korban masih anak di bawah umur, maka persetujuan korban tidak sah secara hukum.


B. Janji Menikahi sebagai Bentuk Manipulasi dan Kekerasan Seksual

Tindakan pelaku merupakan bagian dari grooming dan coercive control. Pemberian uang (Rp20 juta), emas 1 suku, serta mahar Rp300.000 merupakan bagian dari strategi manipulasi yang memperkuat unsur pidana kekerasan seksual.


C. Pernikahan Siri Tidak Sah dan Tidak Berlaku Hukum

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo. UU No. 16 Tahun 2019, pernikahan anak di bawah umur tanpa izin pengadilan dan tidak tercatat secara resmi adalah tidak sah menurut hukum negara.


D. Hak Korban untuk Memutus Hubungan

Karena pernikahan tidak sah, korban tidak perlu menjalani proses cerai di pengadilan. Korban berhak memutus hubungan, melaporkan pelaku, serta memperoleh perlindungan dari UPTD PPA, LPSK, dan pendamping hukum.


IV. Alat Bukti dan Pembuktian


1. Keterangan korban dapat menjadi alat bukti sah (UU TPKS Pasal 25 Ayat 1)


2. Visum et repertum dan pemeriksaan psikologis dapat menunjukkan bukti fisik dan psikis.


3. Bukti elektronik seperti pesan WA, SMS, voice note, dll dapat menjadi bukti hukum.


4. Saksi tidak langsung seperti orang tua dan pendamping PPA bisa menjadi saksi relevan.


5. Pembalikan beban pembuktian dalam kekerasan seksual terhadap anak (Pasal 81 ayat 3 UU Perlindungan Anak).


V. Kesimpulan dan Rekomendasi


1. Perbuatan pelaku adalah kejahatan seksual berat (pemerkosaan terhadap anak).


2. Janji menikah dan pemberian uang tidak menghapus unsur pidana, bahkan memperkuat bukti manipulasi.


3. Pernikahan siri terhadap anak tidak sah dan tidak menghindarkan pelaku dari pidana.


4. Korban berhak memutus hubungan dan melaporkan pelaku.


5. Uang dan barang yang diterima korban dapat menjadi alat bukti modus manipulatif.


6. Pembuktian dapat dilakukan meskipun tanpa saksi mata langsung.


VI. Dasar Hukum


1. UU No. 1 Tahun 1974 jo. UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.


2. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.


3. UU No. 12 Tahun 2022 tentang TPKS.


4. KUHP Pasal 285 dan 287.


5. Permen PPPA No. 4 Tahun 2018 tentang UPTD PPA.


6. UU ITE No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016.


Disusun oleh:

Widodo, S.H

(JHW Law Firm)

Share:

No comments:

Post a Comment


Youtube SiniNews

Facebook SINI News

Followers

Subscribers

Postingan Populer

Blog Archive

Comments

Berita Utama

sitemap

Recent Posts