SINI -- Dari tahun ke tahun selalu saja ada berita TKI yg "diiris" alias dipancung sesuai hukum Qisas yang berlaku Di Saudi Arabia. Pelaksanaaan hukum tersebut, meski mendapatkan tentangan dari dunia internasional, namun Saudi tidak bergeming sebagai negara yang berdaulat penuh untuk menegakkan hukumnya yang berlaku sesuai syariat Islam. Mirisnya TKI yang berjumlah puluhan dieksekusi tanpa ada kesempatan yang lebar untuk membela diri sebagai akibat hukum di Saudi yang memang kurang peka terhadap isu perempuan dalam membela kehormatannya. Banyak kasus yang terjadi sebagai percobaan bela diri dari TKI terhadap kesewenangan yang dilakukan oleh majikan dalam bentuk agresi fisik maupun seksual terhadap TKI. Alhasil TKI sebagai korban, di pengadilan pun berubah status menjadi terdakwa. Lazimnya korban bukanlah yang harus menjadi tersangka, justru majikanlah yang harus menjadi tergugat.
Dari sejarah dimulainya era pekerja Indonesia di Saudi puluhan tahun lalu dengan berbagai kasus yang ada, telah banyak pemikiran, saran, usul dan usaha untuk mengatasi masalah ini. Ada yang mengusulkan stop saja pengiriman TKI karena akan menyebabkan pemerintah repot selalu mengurus kasus baru yang bermunculan sementara kasus lama saja belum terselesaikan. Ada lagi yang mengatakan ini sebagai longgarnya kebijakan sehingga TKI yang unskilled dan poor educated lah sbg penyebabnya, ditambah banyaknya celah pengiriman TKI illegal oleh individu maupun perusahaaan.
Pemerintahpun telah berusaha bekerjasama dengan kementrian terkait seperti Depnaker untuk menyumbat kran ini agar tidak mengalami kebocoran yang besar. Sayangnya, outcome yang diharapkan belum sesuai dengan harapan yang ideal. Lalu kalau semua langkah preventif sepertinya sudah dilakukan, apa iya tidak ada solusi lain? Apakah hanya dengan kebijakan singkat Stop Pengiriman TKI maka itu akan selesai?
Dikaji dari aspek beban atau kerepotan, jelas kebijakan ini akan pro pemeritah cq Kemenlu yang tidak lagi akan berhadapan dengan berbagai kasus TKI di Arab, Hongkong, Malaysia dll. Namun dikaji dr aspek ekonomis dimana bekerja di LN merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraaan keluarga, rasanya tidak adil sementara lahan pekerjaan dalam negeri sendiri tidak tersedia cukup luas dan isu upah baik UMR maupun UMP masih banyak dilanggar. Oleh karenanya menutup kran pengiriman TKI hanya akan menuai gelombang protes dari stakeholders terkait, disamping akan menyebabkan angkatan kerja di Indonesia tidak bisa bersaing dengan Pilifina, Bangladesh, India karena hanya jago kandang. Lalu apa yang harus dilakukan?
Kembali lagi ke perspektif Indonesia, pemerintah sdh sedemikian rupa berupaya dengan memperketat peraturan ketenagakerjaan, visa dan passport, pelatihan keterampilan bahkan mungkin juga keahlian bela diri TKI telah di upgrade skill namun kasus demi kasus masih saja menunggu. Rasanya tdk adil pula kalau selalu pemerintah Indonesia, Depnaker, TKI dan agen penyalur yang harus selalu menyesuaikan diri dengan tantangan yang bakal dihadapi oleh TKI di LN sementara permintaan TKI terus berdatangan dr mereka yg notabene adalah calon majikan. Mengapa tidak mereka juga diminta untuk melakukan berbagai persiapan pula sebelum mendatangkan TKI sampai dengan TKI tersebut dipekerjakan. Artinya pemerintah asing entah itu Saudi, Malaysia, Hongkong dll beserta stakeholders terkait yakni agen penerima dan calon majikan juga harus melalui phase edukasi bersama melalui sosialisasi, training, interview, sweeping, dan tindakan preventif lainnya yang hrs dikerjakan oleh pemerintah mereka. Siapa yang harus menyuarakan ini tentu saja Kemenlu RI, artinya kitapun harus ada bargaining position yang sejajar dng mereka. Jangan hanya mereka saja yang menetapkan syarat terhadap kita dalam persiapan pengiriman TKI, dilain pihak mereka juga harus memenuhi persyaratan dari kita sampai mereka bisa memperkerjakan TKI.
Banyak langkah konkrit yang bisa disampaikan oleh Kemenlu RI melalui nota diplomasi diantaranya : meminta mereka meratifikasi hukum2 yang tidak peka terhadap isu pekerja, menstandarkan akreditasi agen penerima TKI di LN yang profesional, dan yang tidak kalah pentingnya menyeleksi calon majikan melalui uji kelayakan dari berbagai dimensi pisik, psikologis, finansial dengan berbagai tingkat pengujian baik tertulis, wawancara, psikotest dan survey ke lapangan cq rumah calon majikan. Bukankah proses seperti ini lumrah di LN ketika kita mau mengadopsi anak angkat atau hewan peliharaan sekalipun?. Standard inilah yang harus diusung bersama karena nilai TKI hampir sama pentingnya dengan anggota keluarga mereka bahkan lebih dari hewan peliharaan. Kalau semua itu sudah diterapkan,apakah cukup itu saja? Tentu saja belum, masih diperlukan tindakan sweeping yg reguler atau insidentil terhadap TKI dilakukan bersama oleh Kemenlu melalui kedubes, konjen dan konsulat RI bekerjasama dng Perhimpunan Pelajar Indonesia atau PPI di LN beserta NGO dan kepolisian setempat utk memastikan para Tenaga Kerja Indonesia mendapatkan pekerjaan yg layak dan perlakuan yang manusiawi. Karena adalah satu alasan yang tidak terbantahkan mereka rela berpisah dengan keluarga dicintai untuk menunaikan niat meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka. Klasik memang, pada akhirnya Indonesia pula yg akan bertambah devisa melalui pengorbanan mereka. Jayalah TKI!
Penulis adalah pengamat sosial, politik, pemerintahan dan pendidikan. Tribute for Tursilawati dan TKI lainnya yg telah berkorban utk klrga dan negara RI.
Akhmad Muftizar Zawawi, S. IP, M. EDLM, P. hD
No comments:
Post a Comment