Menakar Kebijakan New Normal di Sektor Pendidikan


SININEWS.COM - Selama sepekan terakhir ini istilah “New Normal” sudah menjadi topik pembahasan di Indonesia. Terutama muncul wacana pemerintah pusat akan menerapkan skema tersebut, meski banyak kalangan menilai kasus baru Virus Corona atau COVID-19 di Indonesia masih bertambah cukup banyak. 

The new normal merupakan terminologi yang dipakai pada tahun 2009 oleh Philadelphia City Paper saat mengutip Paul Glover dalam menjelaskan kondisi yang semula dinilai tidak umum menjadi sesuatu yang kemudian dianggap biasa, wajar, dan akhirnya diterima secara luas. Pada saat itu, dunia bisnis mencari titik normal yang baru setelah terjadi krisis keuangan pada 2007- 2008 dan resesi global pada 2008- 2012. 

New Normal adalah kebijakan membuka kembali aktivitas ekonomi, sosial dan kegiatan publik secara terbatas dengan menggunakan standar kesehatan yang sebelumnya tidak ada sebelum pandemi. New Normal dapat diartikan sebagai upaya menyelamatkan hidup warga dan menjaga agar negara tetap bisa berdaya menjalankan fungsinya, setelah kebijakan stay at home atau work from home atau pembatasan sosial diberlakukan untuk mencegah penyebaran massif wabah virus corona. 

New Normal utamanya agar warga yang memerlukan aktivitas luar rumah dapat bekerja dengan menggunakan standar kesehatan yang ditetapkan. New Normal ditujukan agar negara tetap mampu menjalankan fungsi-fungsinya sesuai konstitusi. Harap diingat bahwa pemasukan negara berasal dari pajak dan penerimaan negara lainnya.

Jika aktivitas ekonomi terus berhenti total maka negara tidak punya pemasukan, akibatnya negara juga tidak bisa mengurus rakyatnya. New Normal di Sektor Pendidikan Mengamati kondisi sekarang ini, di mana pandemi covid-19 belum hilang, sebaiknya pada penyelenggaraan pendidikan tidak diberlakukan normal baru (membuka sekolah kembali).

Untuk menghindari terkena pandemi covid-19 yang sangat rentan tertular di lingkungan pendidikan. Hal ini harus dipertimbangkan secara matang dan akurat oleh negara khususnya pemerintah daerah. Kita tidak ingin pelajar yang jumlahnya jutaan terpapar oleh pandemi covid -19. Hingga kini transmisi Covid-19 belum terkendali, kasus baru masih terus terjadi, dan kurvanya juga masih belum melandai. Penularan Covid-19 kepada anak-anak Indonesia tergolong cukup tinggi.

Sebagaimana rilis resmi yang disampaikan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada 18 Mei 2020, bahwa tak kurang dari 584 anak dinyatakan positif mengidap Covid-19 dan 14 anak di antaranya meninggal dunia. Sementara itu, jumlah anak yang meninggal dunia dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 berjumlah 129 orang dari 3.324 anak PDP tersebut. 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga menyampaikan bahwa hingga 28 Mei 2020, total anak-anak yang terpapar COVID-19 mencapai 5 persen dari total kasus yang dilaporkan ke pemerintah. Dengan memperhatikan jumlah kasus konfirmasi Covid-19 yang masih terus bertambah, mulai melonggarnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kemungkinan terjadi lonjakan jumlah kasus kedua dan masih sulitnya menerapkan pencegahan infeksi pada anak-anak, maka perlu dikaji ulang untuk membuka aktivitas belajar anak di sekolah. 

Kalaupun pemerintah mempertimbangkan tentang efektifitas kinerja dari satuan pendidikan, maka tidak jadi soal jika tenaga pendidik dan kependidikan (guru, pegawai dan karyawan) yang diberlakukan new normal terlebih dahulu. Pemerintah sebaiknya menaruh perhatian besar pada keselamatan anak-anak peserta didik dari ancaman pandemi Covid-19 seraya belajar dari pengalaman pahit Korea Selatan yang meliburkan kembali 838 sekolahnya pada Jumat (29/5) setelah kasus virus Corona di Ibukota Seoul melonjak kembali. 

Selain pertimbangan keselamatan anak-anak, sektor pendidikan berbeda dengan sektor usaha yang aktif atau tidaknya langsung berdampak pada kehidupan dan kesehatan orang banyak. Jika belajar secara online masih bisa dilakukan, sebaiknya sektor pendidikan tidak terburu-buru mengikuti kondisi kenormalan baru atau new normal. 

Oleh karena itu penulis sebagai bagian dari warga masyarakat menyarankan pemerintah melakukan studi mendalam sebelum memutuskan untuk membuka kembali semua sekolah di tengah pandemi Covid-19. Merujuk data resmi KPAI bahwa ada lebih dari 800 anak di Indonesia terpapar Covid-19 dan 129 di antara mereka meninggal dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) dan 14 anak lainnya meninggal dengan status terkonfirmasi positif Covid-19, tampaknya semua pihak memang tak boleh main-main saat membuat keputusan untuk segera membuka kembali sekolah, keselamatan anak-anak peserta didik wajib menjadi perhatian utama. 

Selagi dengan pola Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ nasib generasi muda yang potensial itu bisa diselamatkan, mengapa pihak-pihak yang punya otoritas dalam dunia pendidikan harus terburu-buru meninggalkan cara belajar virtual itu untuk seluruh jenjang pendidikan dari PAUD sampai perguruan tinggi. Kita semua belum dapat memprediksi kapan pandemi Covid 19 akan betul-betul berakhir mengingat jumlah korban terus bertambah seiring dengan banyaknya masyarakat yang mengikuti rapid test. Sangat mungkin pada permulaan tahun ajaran baru (13 Juli 2020) belum berakhir juga.

Rasanya kurang manusiawi pada saat masyarakat masih dihadapkan pada perjuangan melawan pandemi Covid 19, khususnya memikirkan kebutuhan Sembako, tapi harus memikirkan pencarian sekolah baru/membayar kebutuhan sekolah anaknya. Saat ini, banyak orang tua yang secara ekonomi dan psikologis rapuh akibat terkena dampak PHK atau tutupnya usaha mereka. Kondisi tersebut berpengaruh besar terhadap kerapuhan psikologi anak. Dibutuhkan waktu yang cukup untuk memulihkan kerapuhan ekonomi dan psikologi orang tua maupun anak. Dilihat dari aspek pedagogik, dalam kondisi yang tidak menentu seperti sekarang, orang tua akan lebih tenang bila anak-anak bersama mereka setiap saat. 

Budaya yang sudah mulai terbangun bahwa belajar didampingi orang tua akan bisa lebih menjadi penguat di trilogi pendidikan (orang tua, masyarakat, dan sekolah). Hak anak untuk mendapat pendidikan tetap bisa dijalankan dengan prioritas hak mendapat perlindungan kesehatan di dalam rumah. Bukan berarti sekolah/kampus tidak layak untuk memberikan hak sehat, namun orang tua akan lebih tenang memikirkan kesehatan anaknya. 

Membuka sekolah pada pertengahan Juni 2020 ini akan sangat berpengaruh terhadap kondisi keselamatan anak dan psikologis orang tua. Kita tidak tahu apa yang akan dilakukan anak di sekolah, jika memang sekolah dibuka kembali. Kalaupun menggunakan sistem protokol kesehatan, anak-anak menggunakan masker, mencuci tangan pakai sabun, melakukan test suhu udara, menggunakan penyemprotan disinfektan, mengatur jadwal belajar tatap muka dengan model ganjil genap, mengatur durasi pulang sekolah agar tidak terjadi penumpukan, akan terjadi kendala dalam tataran implementasi. 

Apakah sarana dan prasarana di sekolah telah memenuhi standar protokol kesehatan. Kita tidak bisa membayangkan pada saat anak-anak melakukan cuci tangan pakai sabun, melakukan test suhu badan dan lain sebagainya, sementara sarana yang tersedia di sekolah kurang memadai dan representatif dengan jumlah anak, yang terjadi adalah penumpukan. Ketersediaan sarana disekolah harus menjamin keselamatan dan kesehatan warga sekolah.

Paling tidak 50% dari jumlah rombel, harus tersedia tempat cuci tangan. Belum lagi jadwal pulang sekolah yang harus diatur durasinya, kita juga tidak bisa memastikan apakah anak-anak yang keluar duluan sudah dijemput oleh oran tuanya atau belum, 

sementara kelas lain menyusul keluar, maka yang terjadi adalah penumpukan lagi. Kita juga tidak bisa memastikan apakah anak-anak yang masuk sekolah dalam kategori OTG yang mendelevery virus ke temannya, atau ada anggota keluarganya yang berada dalam PDP, sehingga mentransfer virus tersebut ke warga sekolah, atau jangan-jangan virus tersebut di dapat oleh anak pada saat pergi ke sekolah dengan menggunakan kendaraan umum, karena tidak semua anak pergi pulang sekolah di antar jemput orangtua, ini juga perlu kita pikirkan.

Apa yang kita harapkan jika sekolah dibuka kembali pada pertengahan Juni 2020 ini. (sementara pemerintah pusat melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan sudah menetapkan tahun ajaran baru adalah 13 Juli 2020), walaupun jadwal tersebut bukan jadwal pembukaan sekolah. Karena sesuai dengan kalender pendidikan, rentang waktu pertengahan Juni 2020 adalah rentan waktu fakultatif, artinya kegiatan belajar mengajar sudah berakhir, dan disi dengan kegiatan clascmeeting, sementera guru sibuk dengan kegiatan administrasinya untuk pengolahan nilai dan pengisian raport. Lalu siapa yang akan mengawasi anak?. Sementara tangal 26 dan 27 Juni 2020 adalah waktu pembagaian raport. Ini artinya ada rentang sekitar 10 hari anak masuk sekolah, selebihnya libur kenaikan kelas. Jika dilakukan sistem ganjil genap, berarti masing-masing anak Cuma 5 hari aktif masuk sekolah. 

Apa yang inin kita harapkan dari 5 hari sekolah tersebut? Oleh kerana itu kepada pemangku kepentingan, dan pengambil keputusan mohon untuk dikaji dan ditinjau ulang tentang kebijakan tersebut. Tulisan ini tidak bermaksud menentang kebijakan pemerintah daerah, ini hanya sharing information, brain storming dan analisis kontektual terhadap kecintaan pada generasi emas yang akan menjadi pionir pada era bonus demografi 2030.

Terlepas apakah tulisan ini menjadi acuan sebagai masukan dan saran, keputusan akhir dan final ada pada Pemerintah Daerah. Marilah kita bersama, bersinergi membangun negeri. Tak ada gengsi, atau pun dengki. Kita butuh energi sejati yang datang dari hati. Pandemi adalah anugrah Illahi. Kita kembali untuk menata diri, dalam berbagai situasi. Jangan pergi. Sambutlah mentari dengan senyum manis. Songsong dunia anak sebagai pewaris negeri. Antarkan ke dunianya dengan penuh prestasi. Berbudi dan tetap bertawaqal diri.(SN)    
Share:

No comments:

Post a Comment


Youtube SiniNews

Facebook SINI News

Followers

Subscribers

Postingan Populer

Blog Archive

Comments

Berita Utama

sitemap

Recent Posts