BANGKITKAN SEMANGAT, WUJUDKAN MERDEKA BELAJAR


SININEWS.COM
- Peringatan hari guru tahun ini jatuh pada hari Rabu, 25 November 2020, walau dalam kondisi pandemi, namun semangat untuk melakukan transformasi pendidikan untuk mewujudkan merdeka belajar sebagai agent perubahan, tetap dijadikan sebagai momen berharga bagi para guru dan insan pendidik agar benar – benar menjadi pendidik yang bertakwa, beretika, profesional dan berwawasan luas. Alangkah indahnya bila hari ini, kita semua dan para guru hebat bersedia mengintrospeksi, mulai dari diri terhadap tugas dan tanggung jawab yang luhur dan mulia tersebut selama ini, apakah benar-benar telah mewujudkan merdeka belajar, yang menempatkan anak-anak sebagai subjek pembelajar, sebagaimana filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara (KHD), atau bahkan sebaliknya? 


Dalam perspektif pedagogis guru merupakan suatu konsep yang menggambarkan sosok pribadi mulia yang menjalankan peran transferring dan transforming yaitu memberikan dan menyampaikan informasi ilmu pengetahuan, dan  menanamkan nilai budaya positif kepada para siswa yang diajarnya. Dalam konteks tersebut, guru tidak hanya mengajarkan tetapi sekaligus menjadi suri tauladan (ing Ngarso Tung Tulodho), membangun semangat belajar yang bermakna (Ing Madya Mangun Karso), dan memberi motivasi dan dorongan bagi siswanya (Tut Wuri Handayani). Sehingga kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual mutlak dimiliki guru.  Menurut Prof DR Sarozi kurikulum sesungguhnya adalah guru itu sendiri sehingga tidak bingung dalam memaknai perubahan kurikulum apapun, mulai dari KBK, KTSP dan sekarang SENTIFIC atau kurikulum 2013. Karena guru adalah kurikulum berjalan.

Sebagai seorang pendidi tentu memiliki tugas dan peran yang penting dalam upaya mencerdaskan anak didik, termasuk dalam situasi pandemi covid-19 ini. Para guru dihadapkan pada tantangan luar biasa saat pandemi. Lapis tantangannya, bergantung pada sumberdaya yang yang dimiliki, baik dari segi teknikal, seperti gawai, akses internet, dan kuota yang cukup, maupun yang bersifat substansial, seperti kepedulian dan tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak.

Policy Brief Education During Covid-19 and Beyond yang dirilis PBB (2020) menyebutkan, sebagian besar guru di seluruh dunia termasuk juga Indonesia, tidak dipersiapkan untuk beradaptasi dengan situasi pandemi, yang menuntut berbagai metode pembelajaran baru. Pembelajaran jarak jauh yang mengandalkan internet, selain membutuhkan jaringan juga keterampilan pengoperasian TIK. Guru memang dengan mudah dijadikan sasaran tembak kegagalan pendidikan, baik sebelum maupun saat pandemi. Keluhan terhadap kinerja guru begitu banyak diungkapkan. Bahkan, ada yang menuduh guru lebih mudah bekerja saat pandemi. Sebab, mereka hanya memberi tugas bagi anak lalu bebannya berpindah ke orang tua. Padahal, yang terjadi tak sesederhana itu. Sebab, guru justru memiliki beban berlipat. Mereka mencari strategi agar anak-anak bisa menerima pelajaran dengan lebih sederhana. Bahkan, di berbagai pemberitaan, guru-guru di berbagai daerah yang memiliki keterbatasan akses, harus mendatangi anak-anak ke rumah. Tentu berisiko, tetapi mereka tetap semangat melakukannya demi pemenuhan hak anak untuk belajar. 

Sementara, guru-guru yang memiliki akses memadai, dukungan sekolah, dan orang tua pun memiliki persoalan. Sebab, mereka dituntut menghadirkan metode pembelajaran interaktif, kreatif, menyenangkan, dan menjadikan anak-anak aktif. Ini jelas bukan perkara mudah. Mengajak anak-anak aktif, sementara mereka terbatasi oleh layar. Semenarik apa pun guru mengajar melalui layar, jelas tidak tergantikan oleh interaksi tatap muka langsung di ruang kelas. 

Tantangan terbesar pembelajaran daring adalah membangun interaksi sosial dan karakter anak. Membangun minat anak belajar dan menyimak guru tidaklah mudah. Mengajar anak usia dini membutuhkan keterampilan khusus. Jika orang dewasa saja mudah teralihkan saat melakukan pertemuan daring, anak-anak kecil yang secara natur memang lebih aktif dan memerlukan ruang untuk bergerak, sangat gamblang sulit untuk duduk tenang selama proses belajar.  

Mari kita belajar dari filosofi ikan, yang mungkin bisa menginspirasi kita semua para guru hebat. Kenapa? karena secara lahiriah ikan selalu berenang maju apapun kondisinya dan ia tak pernah sekali-kali mundur. Itu artinya ia mewarisi sikap pantang menyerah dan pantang berputus asa. Dalam kehidupan ini ada banyak rintangan yang harus dihadapi, dan satu-satunya cara untuk mengatasi rintangan itu bukan mundur dan menghidar melainkan menerima dan lantas menghadapinya.  Kesuksesan merupakan hal yang pasti didapat untuk orang yang selalu berjuang, namun berapa lama waktu yang harus ditempuh, merupakan hal yang tidak dapat diketahui oleh siapapun.  Kesuksesan hanya milik orang-orang yang bangkit dengan semangat pantang menyerah.

Oleh karena itu sangat pantas jika tema Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT PGRI ke 75 tahun 2020, adalah bagaimana membangkitkan semangat para guru untuk memberikan kemerdekaan belajar kepada peserta didik.

Wujudkan Merdeka Belajar
Esensi konsep Merdeka Belajar, salah satu yang terpenting ialah dengan membuat kurikulum yang fleksibel, sehingga guru bisa memilih yang cocok sesuai kompetensi dan minat siswa. “Kebijakan Merdeka Belajar memberikan kesempatan guru untuk berinovasi dan mandiri sehingga bukan birokrasi pendidikan, tetapi inovasi pendidikan”. Soal kesiapan sekolah melaksanakan pendidikan jarak jauh dan digitalisasi pendidikan, merupakan suatu keniscayaan kendati ada kendala di daerah-daerah lain yang tak memiliki akses jaringan.  

Ujung tombak Merdeka Belajar ada pada guru penggerak, yang tergerak dan menggerakan komunitas dan ekosistem pendidikan.  Hal tersebut tak akan terwujud ketika mereka belum merdeka seutuhnya. Maka mewujudkan Merdeka Belajar ini harus dilakukan secara fundamental, bukan sekedar melalui hal teknis dan mengganti kebijakan baru saja. Akan tetapi lebih holistik menyentuh pada eksistensi guru itu sendiri.
Selain itu, merdeka belajar tidaklah berdiri di ruang kosong, ia mengait dengan elemen-elemen pembelajaran yang lain. 

Keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh koherensinya dalam sebuah sistem pendidikan yang memiliki akar yang kuat. Sebagai sebuah nilai, merdeka belajar merupakan hak dasar yang melekat pada tiap individu, termasuk peserta didik. Meskipun demikian, sesuai dengan tata nilai yang dianut secara universal, merdeka belajar harus ditempatkan dalam kerangka harmonisasi, sehingga memiliki integritas yang terinternalisasi secara konsisten, dan semangat menyelaraskan semua elemen yang terlibat.

Bagaimana mungkin konsep merdeka belajar ini bisa kita terapkan, sementara eksistensi guru dalam memaknainya masih bias, tuntutan kebijakan yang tidak selaras serta lingkungan belajar yang tidak pantas.  Oleh karena itu komunikasi, koordinasi dan kolaborasi adalah salah satu kunci untuk mewujudkan merdeka belajar dalam ruang-ruang kelas.

Untuk bisa direalisasikan, nilai-nilai kehidupan harus diterjemahkan menjadi sebuah konsep, lalu kemudian dalam konsep tersebut, mulai muncul entitas-entitas yang saling terkait, seperti metode belajar. Merdeka belajar sangat terkait dengan tiga elemen yaitu kurikulum, SDM (guru), dan lingkungan belajar. Elemen ini harus saling terkait, jika satu titik ditarik, yang lain akan mengikuti. Ketika metode belajar konvensional didisrupsi untuk mewujudkan semangat membebaskan, semangat memerdekakan, mau tidak mau kurikulum, pengelolaan SDM, dan lingkungan belajar harus disesuaikan dengan semangat yang sama. 

Pendidikan seringkali dimaknai hanya sebagai proses pengembangan intelektual yang parsial saja, hanya terkait dengan mata pelajaran yang diajarkan. Seringkali pendidikan dianggap selesai ketika anak didik sudah memahami materi pelajaran. Persoalan kemanusiaan seakan-akan dilepaskan dari konteks pembelajaran. Padahal dalam sejarahnya, pendidikan selalu diupayakan dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan, bukan terlepas darinya.  Oleh karena itu perlu merefleksi kembali konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD) tentang filosofi pendidikan yang memerdekakan. 
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan yang memerdekakan yaitu suatu proses pendidikan yang meletakkan unsur kebebasan anak didik untuk mengatur dirinya sendiri, bertumbuh dan berkembang menurut kodratnya, yaitu kodrat alam dan kodrat zaman. Artinya seorang anak mempunyai otoritas mengembangkan dirinya secara otentik.  

Sedangkan menurut Akhmad Sudrajat dalam tulisannya menyatakan bahwa, pendidikan bukanlah sebuah proses penjinakkan (domestikasi), yang memandang individu sebagai makhluk liar yang harus dijinakkan oleh sang pawang. Demikian pula,  pendidikan bukanlah proses cuci otak  dengan memasukkan doktrin-doktrin yang tidak sejalan dengan fitrah kemanusiaan yang dimilikinya. Pendidikan semacam ini hanya akan menghasilkan manusia-manusia  robot yang serba mekanistis. Menjadikan manusia tak ubahnya seperti burung beo, yang hanya sanggup berkata seperti apa  yang diajarkan sang pawang atau menjadikannya seperti bebek,  yang selalu mengekor pada yang lain. Tidak mandiri dan sangat  miskin kreativitas !

Inilah pendidikan yang memenjarakan sekaligus mengingkari fitrah kemanusiaan, yang disadari atau tidak disadari, praktik pendidikan semacam ini tampaknya masih mewarnai pada sebagian kehidupan di negeri ini, baik pada lingkungan pendidikan formal maupun nonformal. Adalah fitrah manusia,  terlahir dengan dibekali segenap potensi masing-masing,  yang mungkin antara satu individu dengan individu lainnya berbeda. Maka  disinilah, tugas utama pendidikan untuk dapat menyediakan lingkungan belajar agar setiap individu dapat berkembang optimal menjadi dirinya sendiri, sejalan dengan fitrah  dan pilihannya masing masing.
Pendidikan yang memerdekakan itu harus didasarkan pada kesenangan anak, serta untuk memperoleh masa depan sesuai harapan dan keinginan mereka sendiri. Oleh sebab itu, pendidikan yang memerdekakan disiratkan bahwa setiap anak memiliki keunikan masing-masing dan seharusnya belajar sesuai kesenangan mereka. Tidak harus didikte dengan kurikulum, sistem, dan aneka mata pelajaran yang dipaksakan kepada siswa-siswa seperti di ruang kelas konvensional pada umumnya.

Belajar dari filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD) tentang konsep pendidikan yang memerdekakan, maka  akan melahirkan manusia-manusia yang tidak terperintah orang lain, tetapi batinnya bisa memerintah dirinya sendiri, melahirkan manusia-manusia yang berdiri tegak karena kekuatan sendiri. Dan melahirkan manusia-manusia yang cakap dalam menertibkan dirinya sendiri, sehingga tidak mengganggu kemerdekaan orang lain.  

Maka tak berlebihan bila konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang menekankan pentingnya kemerdekaan ini perlu menjadi inspirasi bagi kita semua guru-guru hebat dalam ruang-ruang belajar.  Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri.  Pendidik hanya merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.  Tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri. Inilah manusia beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya. "Jadikan setiap tempat sebagai Sekolah, setiap orang sebagai Guru, dan setiap waktu sebagai Pelajaran.(ril/sn)

Oleh: Bayumie Syukri, AP., SE., M. Si
Praktisi, Pemerhati Pendidikan dan CGP Kota Palembang
Share:

No comments:

Post a Comment


Youtube SiniNews

Facebook SINI News

Followers

Subscribers


Postingan Populer

Blog Archive

Comments

Berita Utama

sitemap

Recent Posts