KPU = Koneksi, Pemangku Kepentingan & Uang



*(Wasit Integritas dan Independensi yang Dipertanyakan?)

Akhir-akhir ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) banyak menuai gelombang protes dari masyarakat sebagai akibat residu dari kebijakan dan keputusan yang kontroversial. Dimulai dari seleksi di Kabupaten Nias Selatan yang disinyalir tidak fair dan transparan pada medio tahun 2018, kemudian dianulirnya keputusan 10 besar calon komisioner propinsi Jawa Barat masih di tahun yang sama, sampai kepada pembatalan debat capres oleh KPU yang dianggap memihak pada awal tahun ini.

Nampaknya integritas dan independensi KPU kembali dipertanyakan pada hasil keputusan seleksi calon komisioner di 17 Kab/Kota di Sumsel yang baru saja ditetapkan pada 6 Januari 2019. Hal ini ditandai dengan adanya demo kemarin di Palembang (07/01) yang menuntut KPU untuk melakukan judicial review atau peninjauan kembali atas penetapan komisioner di beberapa Kab/kota yang diduga cacat hukum dan diwarnai konspirasi Koneksi, Pemangku Kepentingan dan (permainan) Uang alias KPU.

Untuk mengkaji sejauh mana dugaan tersebut dapat dibenarkan dan menjadi bahan pertimbangan DKPP atau pihak lain yang berkompeten, mari kita mencermati beberapa kelemahan sekaligus kejanggalan yang terjadi pada proses seleksi tersebut. Penulis dapat menguraikannya karena penulis sendiri adalah subyek yang marasakan langsung tahapan demi tahapan proses yang berlangsung, bukan dari merujuk kepada secondary data yang dapat dianggap bias. Pertama, kelemahan yang nyata terjadi diawali dari sebagian besar rangkaian tes yang dilakukan memungkinkan adanya praktik perjokian.

Bagaimana tidak, hanya tes CAT yang mewajibkan peserta untuk menunjukkan kartu identitas (KTP) itupun hanya dilihat sekilas karena ditaruh diatas meja, selebihnya untuk tes kesehatan, psikologi, wawancara sampai dengan fit and proper test tidak ada verifikasi ulang atau cross check apakah peserta ybs adalah real atau digantikan joki.

Celah ini bisa saja dimanfaatkan oleh oknum untuk mengelabui hasil tes, belum lagi hasil atau skor tes tidak ditampilan secara transparan kecuali CAT. Kedua, dalam penetapan komisioner terpilih yang disusun berdasarkan ranking nilai malah tidak disertai dengan tampilan scoring hasil akhir peserta, bahkan pengumuman tersebut layaknya seperti selebaran undangan list panitia pada pernikahan.

Sebuah ironi memang pengumuman pejabat publik disamakan dengan perubahan harga BBM yang acapkali dilakukan pemerintah diam-diam, apalagi pengumuman tersebut dilakukan tengah malam pukul 00.00 (06/01) yang sangat mepet dengan waktu pelantikan esok harinya (07/01) sehingga terkesan jelas kalau KPU melakukan hal ini untuk menghindari preseden penetapan hasil di Jabar terulang kembali yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan protes jika ada kejanggalan hasil.

Logika yang juga patut dipertanyakan adalah idealnya KPU RI dalam menetapkan 5 besar komisioner terpilih berdasarkan nilai gabungan serangkaian test oleh pansel ditambah dengan skor fit dan proper test oleh KPU propinsi atau alternative kedua menerima secara utuh hasil dari fit dan proper test KPU propinsi tanpa adanya campur tangan KPU pusat karena ybs tidak pernah bertemu dan melihat secara langsung calon komisioner.

Celah inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan lobby di tingkat pusat sehingga dapat merubah hasil rekomendasi dari KPUD. Pertanyaan krusial yang harus dijawab oleh KPU pusat untuk apa diserahkan pendelegasian wewenang kepada KPU propinsi dalam melakukan tes jika hasil akhir masih ditentukan oleh KPU pusat?

Mengapa tidak dari tes pertama sampai akhir dilakukan saja oleh KPU pusat tanpa melibatkan timsel dan KPUD?

Disini jelas ada ambivalensi dan standar ganda yang diterapkan KPU pusat untuk melihat factor X yang lain dari kandidat seperti like and dislike, bukan murni berdasarkan keseluruhan hasil tes yang diselenggarakan oleh daerah.

Harus diingat walaupun antara KPU Pusat, KPU Propinsi dan KPU Kab/Kota merupakan satu kesatuan, namun user sesungguhnya dari KPU Kab/Kota adalah KPU Propinsi. Keganjilan ketiga yang patut diklarafikasi oleh KPU Pusat adalah rumor yang beredar luas tentang pembagian kuota bagi organisasi-organisasi tertentu untuk menempatkan wakilnya duduk di KPU Kab/Kota.

Rumor ini beredar sangat luas bukan hanya di kalangan tertentu bahwa adanya pengkondisian secara tersistem bagi calon segmented bisa mendapatkan golden ticket karena mewakili organisasi tertentu. Jika dibenturkan dengan background komisioner terpilih di setiap kab/kota yang baru saja dilantik maka rumor ini bukan hanya sekedar isapan jempol belaka, belum lagi ditambah dengan adanya isu uang yang ikut bermain dalam penetapan tersebut.

KPU pusat harus mengklarifikasi dengan tegas rumor ini jika marwah atau kewibawaannya tidak mau dipertaruhkan. Jangan sampai KPU RI sendiri yang melakukan pengkhianatan terhadap asas pelaksanaan seleksi yang tercantum dalam BAB 1 Pasal 2 PKPU No 7 tahun 2018, yakni : mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, akuntabilitas, efisien dan efektifitas.

Apalagi untuk menciptakan pemilu yang berintegritas maka diperlukan pula sosok yang berintegritas untuk mengisi jabatan tersebut, bukan paket pesanan, hasil lobby ataupun konspirasi politik.

Sudah saatnya KPU kembali kepada khitah atau tujuan awal dibentuknya lembaga ini untuk menjadi wasit yang adil bagi terselenggaranya Pemilu di Indonesia. Diperlukan kebesaran hati bagi KPU untuk mengakui bahwa terjadinya berbagai preseden di daerah sebagai akibat dari kurangnya introspeksi dan evaluasi sehingga kesalahan yang sama terjadi secara berulang.

Dibutuhkan pula kesadaran hati nurani yang terpatri bahwa menggeser hak orang lain adalah bertentangan dengan HAM dan nilai agama serta moral yang sama saja dengan mencuri. Satu pertanyaan retoris untuk kita semua andaikan paket remunerasi dan fasilitas komisioner tidak lebih dari upah buruh yang setaraf dengan UMR berkisar 3 jutaan rupiah nett, apakah animo pelamar akan sebesar ini?

Oleh karena itu pilihlah calon yang benar berintegritas bukan karena perhitungan matematis. Masih banyak SDM Indonesia yang sesungguhnya mempunyai niat untuk mengabdi kepada daerah atau negaranya namun terberangus oleh system sehingga dimanfaatkan oleh daerah atau negara lain karena mereka tidak mendapatkan kesempatan yang baik.

Marilah kita bersama-sama mengawal demokrasi di Indonesia ini menjadi lebih baik kedepan agar dapat menjadi contoh bagi negara lain. Kalau tidak, maka julukan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia akan dipertanyakan oleh dunia internasional.(**)

 

Penulis : Akhmad Muftizar Zawawi, S.IP, M.ED (LM)

Dosen Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Unitas Palembang

Mantan Dosen dan Humas Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta 2004-2008

Master Education, Leadership & Management Flinders University Australia 2006-2008

Wakil Indonesia pada SSEAYP, ASEAN & Japan, 1998

Wakil Indonesia pada World Youth Forum, Malaka, 2007

3rd Best Award pada CSR 2016, Malaysia, 2016

Ketua Purna Caraka Muda Indonesia (PCMI) Yogyakarta, 2002-2004

Pengamat politik, pemerintahan dan pendidikan di berbagai surat kabar dan harian online
Share:

No comments:

Post a Comment


Youtube SiniNews

Facebook SINI News

Followers

Subscribers

Postingan Populer

Blog Archive

Comments

Berita Utama

sitemap

Recent Posts