MENAKAR KONSEP “MERDEKA BELAJAR”

SININEWS.COM - Merdeka Belajar menjadi salah satu program inisiatif Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mas Nadiem Makarim yang ingin menciptakan suasana belajar yang bahagia. dan suasana yang happy. Tujuan merdeka belajar adalah agar para guru, peserta didik, serta orang tua bisa mendapat suasana yang bahagia. "Merdeka belajar itu bahwa proses pendidikan  harus menciptakan suasana-suasana yang membahagiakan. Bahagia buat siapa? Bahagia buat guru, bahagia buat peserta didik, bahagia buat orang tua, dan bahagia untuk semua orang"

Program merdeka belajar ini dilahirkan dari banyaknya keluhan di sistem pendidikan. Salah satunya keluhan soal banyaknya peserta didik yang dipatok oleh nilai-nilai tertentu.  “Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir, terutama esensi kemerdekaan berpikir ini harus ada di guru dahulu. Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin bisa terjadi di peserta didik."  

Saat kita bicara bahwa kita percaya kemerdekaan guru dan kemerdekaan belajar, maka akan bersinggungan dengan banyak hal. Salah satunya kemerdekaan dalam proses belajar.  Proses belajar butuh kemerdekaan, sudah tentu. Sebab, kemerdekaan harus melekat pada subyek yang melakukan proses belajar: anak ataupun orang dewasa. Termasuk melibatkan dan dukungan banyak pihak.
Perspektif kemerdekaan itu sendiri, bukan sekadar kepatuhan atau perlawanan. Kemerdekaan adalah sesuatu yang diperjuangkan, bukan diberikan.  Makanya, kenyataan yang paling menyedihkan dari pengembangan guru, dewasa ini adalah titik di mana seringkali membuat guru merasa disalahkan. Bukan didengarkan.  Sebenarnya, dalam hampir semua situasi, guru dikatakan kunci dalam pendidikan. Namun, kalimat ini sebenarnya bukan kalimat lengkap. Kunci sering diartikan sebagai solusi segala masalah yang bisa ditinggal sendirian.

Guru di kelas harus berhadapan dengan anak yang tidak siap berkonsentrasi karena datang dengan kondisi kelaparan. Punya tingkat aktivitas terlalu tinggi karena terbiasa tinggal dalam kepadatan, atau tidak berisiko melakukan perundungan. Sebab, dibesarkan dengan ancaman dan hukuman berlebihan.  Kemiskinan, kegagalan keluarga, adalah masalah yang sangat besar dan membutuhkan pendidikan di segala bidang. Semuanya dibebankan ke guru di sekolah dengan harapan situasi kelak akan berubah.

Mengatakan guru adalah kunci, itu sama saja dengan mengalihkan tanggung jawab dan menjebak guru untuk gagal. Tentu guru berperan penting dalam pendidikan, namun tuntutan akan besarnya peran –atau secara spesifik tingginya kompetensi— tidak akan tercapai saat guru tidak memiliki hal yang asasi: yaitu kemerdekaan. Kemerdekaan guru dalam jangka panjang berperan sentral untuk menumbuhkan kemerdekaan belajar peserta didik dan nantinya cita-cita demokrasi negeri ini.

Yang terjadi dalam pengembangan guru saat ini, kemerdekaan seringkali dibungkam dengan tunjangan atau tekanan. Pendidikan menjadi proses yang penuh dengan kontrol, bukan dengan pemberdayaan.  Di banyak negara, memasuki profesi guru adalah proses yang sangat selektif untuk orang-orang pilihan. Namun menjalaninya didukung dengan banyak kemerdekaan dan kemudahan. Di negeri kita sebaliknya. Menjadi guru seringkali mudah, namun batasan dan tekanan di dalam profesinya sangat menantang.

Pada saat upacara bendera peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2019 di Jakarta, Menteri Pendidikan, menyampaikan pidato sedikit berbeda; singkat dan padat. Diakuinya, pidato tersebut apa adanya, disampaikan dari lubuk hati yang tulus. Satu kalimat singkat penulis kutip dari pidato tersebut, yakni “… Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia…”. Bapak menteri mengatakan prinsip birokrasi dan regulasi bidang pendidikan sering kali menghambat inovasi dan  kemerdekaan belajar. Beliau mengajak para  guru Indonesia untuk melakukan perubahan kecil, antara lain mengembangkan diskusi kelas dan siswa mengajar.  Mengingat pentingnya kemerdekaan belajar itu, maka sebelum menutup pidatonya, beliau kembali menegaskan “Merdeka Belajar dan Guru Penggerak”.

Merdeka belajar dan guru penggerak bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia pembelajaran. Penganut ideologi humanistik dalam pembelajaran telah mendikusikan secara mendalam dua tema tersebut lebih dari setengah abad yang lalu. Pada tahun 1969 Carl Rogers mempublikasikan sebuah buku berjudul “Freedom to Learn”. Pada pengantar buku tersebut, Lima puluh tahun lalu, ia mengatakan, “Sekolah kita umumnya sangat tradisional, konservatif, birokratis dan resisten terhadap perubahan. Satu cara yang harus dilakukan untuk menyelamatkan generasi muda ini adalah melalui kemerdekaan belajar”. Pada tahun 1962 Everett M. Rogers menulis buku berjudul “Diffusion of Innovation” dimana pada buku tersebut memuat satu bab tersendiri tentang pengerak atau agen perubahan.

Setiap anak yang dilahirkan pasti memiliki keistimewaan yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Disinilah kita sebagai pendidik harus mampu menjadi teman belajar yang menyenangkan agar proses belajar anak benar-benar atas kesadaraannya sendiri dan merdeka atas pilihannya. Diperlukan waktu yang cukup serta kesabaran dalam memfasilitasi, agar anak mampu untuk mengenali potensinya. Karena bakat anak bisa tumbuh ketika anak sudah memiliki minat dan mau berlatih untuk mengasah keterampilannya. Dalam mengawali proses belajar, pendidik juga perlu memiliki kemampuan mendengar yang baik. Tidak hanya sekedar mentransfer pengetahuan dan mendikte anak-anak atas kehendak pendidik.
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai. Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa adalah subjek, bukan objek, Mereka harus mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar. Hal yang sangat penting bagi pembelajaran yang memerdekakan itu dimana kontrol belajar dipegang oleh diri siswa sendiri, bukan orang lain. Sebaliknya, praktek pembelajaran yang tidak memerdekakan selama ini tampak dimana si belajar dihadapkan dan ditetapkan pada aturan yang jelas dan ketat. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin, bahkan kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum sehingga ada kesan “Sekolah tempat menuntut ilmu lebih kejam ketimbang penjara”, demikian Bernard Shaw sebagaimana dikutip dari Naomi (1999) dalam buku “Menggugat Pendidikan”, maka tidak heran jika guru memberikan informasi bahwa akan ada kegiatan guru rapat atau besok kita libur, suara gemuruh menyambut kesenangan itu luar biasa, seolah-olah anak terbebas dari belenggu dan beban belajar, ini yang perlu kita renungkan…?

Strategi pembelajaran yang memerdekakan, menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna dan proses pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan siswa. Aktivitas belajar lebih menekankan pada ketrampilan berfikir kritis, analisis, membandingkan, generalisasi, memprediksi, dan menyusun hipotesis.  

Pelaksanaan evaluasi dalam pembelajaran yang memerdekakan menekankan pada proses penyusunan makna secara aktif yang melibatkan ketrampilan terintegrasi dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata.  Evaluasi menggali munculnya berfikir divergen, pemecahan masalah secara ganda atau tidak menuntut satu jawaban benar karena pada kenyataannya tidak ada jawaban siswa yang salah, yang ada adalah pertanyaan pendidik yang salah.  Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata, artinya evaluasi lebih menekankan pada ketrampilan proses dalam kelompok.

Anomali Guru
Kemerdekaan adalah bagian penting dari pengembangan guru. Sama seperti burung yang tidak berani keluar dari kandang, kompetensi guru tidak akan bisa optimal berdampak tanpa kemerdekaan. Sebab, hanya guru yang merdeka yang bisa membebaskan anak, hanya guru yang antusias yang menularkan rasa ingin tahu pada anak dan hanya guru belajar yang pantas mengajar.

Dalam diskursus tentang kemerdekaan guru, kita perlu berhati-hati untuk tidak ikut membebankan kemerdekaan semata pada kapasitas individual. Dalam kenyataannya, begitu banyak faktor konteks yang akan menentukan apakah guru bisa merdeka. Kemerdekaan berkaitan dengan hubungan yang ada di sekeliling, berkaitan dengan situasi lingkungan. Kemerdekaan bukan dimiliki, tapi dicapai.

Apa yang dipercayai guru adalah bagian penting dari apakah dia mampu mencapai kemerdekaan. Pengalaman masa lalu, baik pengalaman personal saat menjadi peserta didik ataupun pengalaman profesional saat menjadi guru mempengaruhi apakah guru menganggap kemerdekaan bagian yang penting dari pekerjaannya.  

Salah satu yang paling sulit dari perubahan pendidikan adalah sebagian besar guru tidak mengalami kemerdekaan saat menjadi peserta didik. Sehingga juga tidak mengharapkan (dan memperjuangkan) kemerdekaan saat menjadi guru.  Kalaupun guru sepakat pada aspirasi kemerdekaan, implementasinya seringkali susah untuk optimal, bila kepercayaan terhadap anak belum berubah.

Sebetulnya paradigma tentang anak dan pendidikan seperti ini tidak mengherankan. Sebab, sebagian besar guru tumbuh dengan pengalaman pribadi seperti ini. Riset menunjukkan pengalaman pribadi jauh lebih berpengaruh terhadap pembentukan kepercayaan dibanding pengalaman profesional, di bidang apapun.  Karena itu, perubahan pendidikan selalu sulit dilakukan, apalagi saat sebagian besar orang yang memilih profesi ini bukan saja tidak mempunyai repertoire perilaku yang dibutuhkan. Namun juga tidak merasakan pentingnya melakukan perubahan dalam sistem yang mereka rasa tidak bermasalah. Sebagian besar guru ternyata orang-orang yang selama ini sukses dalam sistem konvensional dan cendrung konfirm pada apa yang dilaluinya.

Pengalaman ini tentu mempengaruhi kebiasaannya. Misalnya, kebiasaan untuk mengikuti pola yang sudah digariskan atasan, pembatasan pikiran bahwa yang boleh dilakukan hanya yang tertuang di peraturan. Guru cendrung cemas menghadapi kebijakan. Contoh disalahpahami menjadi standar, pilihan disalahartikan sebagai risiko. Itulah budaya yang sekarang menyelimuti ekosistem guru Indonesia. Bisa dibayangkan sulitnya memutus lingkaran ini dan mencapai kemerdekaan. Seringkali bahasa dalam tataran kebijakan memberikan pengaruh positif yang luar biasa, percakapan guru tentang perannya sebagai fasilitator pengetahuan misalnya, sekarang sudah banyak terdengar di mana-mana.
Dalam situasi seperti ini, guru yang memiliki kemerdekaan juga seringkali disalahartikan sebagai perlawanan terhadap aturan atau kebijakan. Ini pendefinisian yang kurang tepat, karena kemerdekaan sesungguhnya selalu berkait dengan inisiatif diri. Guru perlu merdeka untuk mencapai cita-cita, bukan sekadar ”merdeka” dari kungkungan kebijakan.
Dimensi Komitmen Guru 

Guru-guru merdeka ada yang muda dan tua, ada yang dari generasi berbeda. Walaupun proses mereka menuju kemerdekaan tidak sama.  Guru tua dari generasi sebelumnya karena sudah melewati berbagai reformasi kemudian memahami mana paradigma yang harus dipilih. Guru muda dari generasi baru, lebih mudah menyesuaikan diri dengan tren pendidikan terkini.

Salah satu faktor persamaan antar mereka adalah persepsi terhadap risiko dari kemerdekaan. Guru-guru yang didukung lingkungan, yakin mendapatkan rasa aman dari rekan kerja atau pimpinan, jauh lebih mudah mempraktikan kemerdekaan. Peran hubungan ini tidak mengherankan, karena salah satu paradigma yang paling diterima tentang guru adalah sosok yang perlu memiliki hubungan ”baik” dengan banyak pemangku kepentingan – peserta didik, orangtua, guru lain, kepala sekolah dan seterusnya.  Kemerdekaan sebagai salah satu kunci pengembangan guru, memiliki dimensi komitmen pada tujuan, mandiri dalam proses belajar dan reflektif selama pengembangan.

Pertama, guru yang merdeka memiliki komitmen pada tujuan belajar. Dia memahami mengapa perlu mengajarkan suatu materi atau keterampilan tertentu. Kita hanya bisa komitmen pada saat target ditetapkan oleh diri sendiri, bukan suatu tujuan yang ditetapkan pengawas dan pejabat pendidikan nan jauh di sana.  Semua dari kita yang setiap hari bergerak, setiap hari bergiat, memahami sulitnya konsisten terhadap tujuan. Salah satu tantangan kita ini adalah membedakan cara dengan tujuan. Kita terjebak pada tugas-tugas administratif, kita terjebak pada ketentuan-ketentuan birokrasi sehingga ujian, akreditasi, seleksi, nilai yang sebetulnya semua hanyalah cara lalu kemudian menjadi tujuan dan menjadi prioritas utama.

Kedua, guru yang merdeka adalah guru yang mandiri, memahami bahwa dia memerlukan strategi yang efektif buat dirinya agar bisa meningkatkan kompetensi, memperluas kolaborasi dan mengembangkan karir. Kemandirian jelas banyak tingkatannya. Sayangnya  masih banyak sekali upaya pengembangan guru yang penuh dengan manipulasi. Banyak  ketentuan, banyak jabatan, banyak uang yang kemudian membuat proses guru belajar dan semangat guru belajar itu menjadi sesuatu yang masih sulit buat sebagian dari kita. Sebagian dari kita berhenti mungkin di anak tangga ke tiga dari tahapan kemandirian guru, menjadi teman interaksi atau memberikan masukan tapi masih jauh perjalanannya untuk sampai berdaya dan memegang kendali atas proses belajar kita sendiri.

Ketiga, guru yang merdeka adalah guru yang reflektif. Memahami kekuatannya dan mengenali area yang perlu dikembangkan, serta terus menerus memantau proses belajarnya untuk memahami keterkaitan dan keberlanjutan antara setiap tahapan. Refleksi ini juga mudah dikatakan tapi sulit sekali dilakukan.

Kita semua sedang melawan miskonsepsi. Melawan miskonsepsi tentang proses guru belajar. Melawan miskonsepsi tentang kemerdekaan belajar.  Banyak yang bilang guru itu hanya mau belajar kalau ada insentif. Guru hanya mau belajar kalau mendapatkan serifikat atau uang. Yang kita buktikan adalah guru belajar karena kebutuhan alamiah. Inilah kemerdekaan belajar yang sesungguhnya, gabungan dari tanggungjawab, otonomi dan otoritas profesi mulia ini.  Guru itu tidak perlu menjadi figur yang serba ahli, selama dia merdeka yang mempraktikkan apa yang dia pelajari dan belajar dari banyak sekali kegagalan sebelum akhirnya berhasil.  Salah satu hal sederhana yang terbukti memberikan guru kesempatan mempraktikkan kemerdekaan adalah kesempatan melakukan penelitian keilmuan. Kesempatan menguji secara ilmiah yang akan meningkatkan pemahaman akan peran sekaligus diskursus paradigma tentang pendidikan.

4 Pokok Kebijakan Program Merdeka Belajar
Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nadiem Makarim telah menetapkan 4 pokok kebijakan bidang pendidikan nasional melalui program " Merdeka Belajar". Hal ini disampaikan pada acara Rapat Koordinasi Bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jakarta pada 11 Desember 2019. Program "Merdeka Belajar" ini meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional ( UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.

 "Empat program pokok kebijakan pendidikan tersebut akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia," Program "Merdeka Belajar" dijabarkan dalam 4 kebijakan yang meliputi: 

Penilaian USBN komprehensif yaitu penyelenggaraan USBN (Ujian Sekolah Berbasis Nasional) tahun 2020 akan dilakukan dengan ujian yang diselenggarakan oleh sekolah. Ujian tersebut dilakukan untuk menilai kompetensi siswa dan dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian komprehensif seperti portofolio dan penugasan. Portofolio ini nantinya dapat dilakukan melalui tugas kelompok, karya tulis, maupun sebagainya. Anggaran USBN nantinya akan dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah guna meningkatkan kualitas pembelajaran. 
UN 2020 merupakan pelaksanaan UN terakhir. "Penyelenggaraan UN tahun 2021 akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter." Pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas 4, 8, 11) sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Kemudian, hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya. "Arah kebijakan ini juga mengacu pada praktik baik pada level internasional, seperti PISA dan TIMSS." 

Penyederhanaan Tekait penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Kemendikbud akan menyederhanakannya dengan memangkas beberapa komponen. Dalam kebijakan baru tersebut, guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP. Tiga komponen inti RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. Penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Satu halaman saja cukup. 

Zonasi lebih fleksibel dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah. Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi. Dengan adanya empat arah kebijakan ini, kita berharap pemerintah daerah dan pusat dapat bergerak bersama dalam memeratakan akses dan kualitas pendidikan. Pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan serta memberikan kemerdekaan kepada guru.
Hal tersebut juga akan memberi kesempatan guru untuk memahami tujuan pengembangan diri dan konteks implementasi pada semua peserta didik. Guru merdeka dalam perencanaan, pengajaran dan penilaian. Setiap peserta didik kita butuh hal yang berbeda dari kita. Dengan kata lain, setiap peserta didik butuh kemerdekaan guru untuk memilih dan beradaptasi, Setiap tahun ajaran setiap minggu bahkan setiap hari.

Kemerdekaan belajar perlu didefinisikan dengan tepat, agar kita tidak mudah terbuai oleh ucapan  guru adalah kunci untuk pendidikan. Saya butuh waktu cukup lama untuk sadar bahwa guru adalah kunci itu tidak cukup. Guru yang merdeka belajar adalah kunci. Pada saat orang bicara guru adalah kunci sebetulnya sering kali yang ada dibayangannya ini pabrik. Guru sekadar input. Sehingga dia menjadi kunci terhadap sebuah output yang dihasilkan peserta didik-peserta didik kita. Guru sekadar alat untuk menyukseskan agenda reformasi pemangku kepentingan lain (biasanya pembuat kebijakan). Sekali lagi, kemerdekaan itu adalah kapasitas individu yang didukung oleh ekosistem yang baik. Tidak ada guru yang bisa belajar sendirian, tidak ada guru yang bisa kompeten sendirian dan tidak ada guru yang bisa merdeka belajar sendirian.

Kemerdekaan guru, salah satu pemangku kepentingan terbesar di pendidikan bisa membalik piramida pendidikan di Indonesia. Kalau saja setiap guru dapat memberikan umpan balik berkelanjutan pada pemangku kepentingan lain, niscaya perubahan pendidikan akan lebih cepat tercapai. Jika dulu pertanyaannya adalah apa yang bisa dilakukan guru untuk mendukung kebijakan pemerintah maka mimpi kami adalah membalik piramida ini. Kita yang banyak ini, guru, menggerakan perubahan dengan kemerdekaan melakukan aksi nyata dan praktik baik, menjadikan pertanyaan antar pemangku kepentingan menjadi, ”Apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkatkan skala mengaplifikasikan praktik-praktik baik yang sudah dilakukan guru”.

Semoga upaya kemerdekaan guru mendapatkan dukungan dari pemangku kepentingan dengan beragam peran. Kemerdekaan menumbuhkan semangat membuat jaringan, jaring pengetahuan dan juga jaring emosional. Inilah sesungguhnya demokrasi dalam pendidikan. memerdekakan diri kita sendiri dimulai dari pembuktian bahwa kita dan apa yang kita lakukan adalah kita yang nanti-nantikan. Jadi, kita tidak perlu menunggu siapapun untuk merdeka belajar.(ril/SN)


Oleh : Bayumie Syukri, AP., SE., M. Si
(Praktisi dan Pemerhati Pendidikan Kota Palembang)
Share:

1 comment:

  1. mantul.dik bayumie.karya,tulis nya,utk mendobrak kurikulum.yang kaku jadi flexible.terus,kembang bakat tulisan karena itu cermin kita,yg berpikir kritis. Aamiin semoga Tuhan memberkati.

    ReplyDelete



Youtube SiniNews

Facebook SINI News

Followers

Subscribers


Postingan Populer

Blog Archive

Comments

Berita Utama

sitemap

Recent Posts