DISTORSI (PENOLAKAN) OMNIBUS LAW CIPTA KERJA & DISORIENTASI (PROSES) LEGISLASI

Tik tok, adalah sebuah fitur aplikasi jaringan sosial atau platform video singkat, dimana di dalamnya user dapat ikut di dalam video musik sebagai sebuah wahana entertaining/hiburan yang menyenangkan user (penggunanya). Dapat dilihat banyak bertebaran video tik tok di media sosial yang menayangkan video penon-aktifan music dan microphone pada saat aplikasi tersebut dijalankan. 

Berbeda hal-nya tok – tok (ketokan palu) pimpinan sidang DPR RI yang mengesahkan paket regulasi sapu jagad (super sakti) bernama omnibus law cipta kerja menjadi undang – undang pada senin, 05 oktober 2020 yang lalu, hal yang sejatinya meninggalkan kontroversi (secara substansi), memantik konflik/kegaduhan (di dalam negeri), serta menuai polemik yang sangat dekonstruktif dalam perjalanan bangsa yang saat ini tengah menghadapi wabah pandemi. 

PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

Dapat dilihat, seketika palu pimpinan sidang DPR RI mengesahkan paket regulasi omnibus law cipta kerja menjadi undang – undang, beragam aksi dan reaksi penolakan dari berbagai stakeholder terkait datang, gelombang aksi masa (demonstrasi) dan inisiasi mogok nasional kaum buruh seketika muncul di berbagai daerah/wilayah, arus mobilisasi massa di berbagai daerah serta yang tersentralisasi di pusat ibukota juga tidak terelakan. 

Rasanya untuk yang kali ini, berbagai gejolak dan gelombang massa yang menolak lahirnya UU Cipta Kerja tidak dapat dipandang sebelah mata oleh rezim pemerintah yang berkuasa, seperti pada fenomena aksi massa yang terjadi sebelumnya.

Hal demikian karena pada saat ini, merupakan waktu krusial yang terakumulasi dengan berbagai domino effect yang sudah cukup lama dirasakan oleh sebagaian (besar) masyarakat. 

Tentu, jangan pernah dilupakan bagaimana sejatinya wabah pandemi yang terjadi saat ini telah membuat banyak orang yang ‘lapar’, tidak sedikit orang yang kehilangan pekerjaan (terdampak & di PHK), serta akumulasi berbagai faktor sosial ekonomi yang cukup sulit dirasakan oleh masyarakat.

Beberapa faktor essensial tersebut, sangatlah penting dikemukakan, dikarenakan hal ini secara langsung akan dapat menjadi pemantik yang ‘dahsyat’, andaikan Presiden tidak bereaksi secara cepat dan tepat dalam menjawab tantangan dan tekanan di moment krusial kali ini.

Tentu, memoar sejarah telah mengajarkan untuk arif dan bijak dalam memanagement konflik yang ditengarai oleh gejolak massa yang tidak searah dan setujuan dengan kebijakan pemerintah. Namun, realitasnya di lapangan dapat dilihat represifitas aparat kepolisian dalam mengayomi para demonstran masih dikedepankan, sangat tidak humanis bahkan terkesan ‘emosional’. 

Bagi pemerintah/rezim saat ini pun, patut menjadi catatan bahwa sepandai – pandai menutup ruang publik melalui berbagai cara yang dilakukan, baik dengan infiltrasi approachment pada tokoh/sosok berpengaruh (tokoh sentral) pergerakan kaum buruh misalnya, ataupun dengan melibatkan influencer istana (alternatifnya), atau dengan soft approachment lainnya, maka tidak akan dapat membendung hasrat penolakan yang genuine dan original dari publik/masyarakat luas.

ISU KRUSIAL

Sejatinya pro dan kontra dari pengesahan UU Cipta Kerja, dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yang objektif, namun dalam ruang tulisan singkat ini saya tidak akan mengulas lebih spesifik terkait beberapa isu krusial pasal per pasal yang ada di dalamnya, mengingat hal tersebut telah saya kupas tuntas dalam ruang tulisan yang lainnya, hal mana yang sejatinya dapat disimpulkan bahwa memang terdapat disorientasi secara substansi (cacat yuridis) dan missleading secara prosedur (cacat prosedural) dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi Undang – Undang. 

Setidaknya secara general, terdapat 3 (tiga) catatan dan alasan mengapa omnibus law cipta kerja mengundang polemik, penolakan dan perdebatan luas di masyarakat. 

Pertama, bahwa sejatinya paket regulasi omnibus law cipta kerja sangat beraroma kapitalisitk (liberal) dan bernuansa sentralistik (ekslusif).

Dan selain itu paket regulasi sapu jagad tersebut, juga berafiliasi erat dengan kepentingan dari para pemilik modal/korpoasi, yang seakan memberikan ‘karpet merah’ bagi para investor/pengusaha tanpa melihat prioritas serta mengabaikan keberpihakan terhadap para buruh/pekerja. 

Sangat jelas, apabila ditelisik secara detail, omnibus law cipta kerja tidak memberikan posisi tawar yang kuat (bargaining position) bagi para pekerja/buruh. Justru malah banyak kewajiban perusahaan dan hak dari para pekerja yang sebagaimana telah terakomodir secara ideal dan lebih baik di dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya diamputasi secara massal. Pada point ini dapat dilihat bahwa kepentingan buruh tereduksi secara terstruktur di dalam omnibus law cipta kerja. 

Buruh/pekerja berada pada posisi marjinal yang terpingirkan, hanya tidak lebih sebagai pelengkap penderita dari sebuah entitas korporasi/pengusaha/pemilik modal, yang tentu apabila masih produktif/dapat bekerja akan digunakan, ataupun sebaliknya akan terpinggirkan jikalau sudah tidak memiliki produktivitas kerja. Hal demikian yang juga diungkapkan oleh Gregory Grossman (1984:15), guna mencirikan buruh/pekerja dalam atmospehere sistem ekonomi kapitalis/liberal.

Kedua, dari sisi eksternal omnibus law cipta kerja sangat minim bahkan menihilkan partisipasi publik, sejak dari tahap (awal) perencanaan sampai dengan pembahasan/penetapan. 

Patut diingat sekiranya bahwa ruang partisipasi publik idealnya haruslah ada dan terbuka sejak dari awal proses legislasi, baik dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/penetapan dan pengundangan. 

Sejatinya keterbukaan dan partisipasi publik dalam skema legislasi merupakan salah satu marwah/original intent dari UU 12/2011 jo 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sejatinya inilah yang merupakan asbabun nuzul dari skema legislasi nasional yang terbuka, akomodatif dan partisipatif. 

Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Burkens dalam bukunya yang berjudul ‘beginselen van de democratsiche rechstaat”, bahwa keterbukaan dan partisipasi publik dalam ruang demokrasi merupakan syarat minimun dari setiap kebijakan/pengaturan atau pengambilan keputusan yang diambil oleh penguasa/pemerintah.

Namun sangat disayangkan, di dalam penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja sedari awal, Pemerintah melalui tim khusus yang dimotori oleh Kementerian Perekonomian sangatlah tertutup, bersikap arogant (ekslusif), serta seakan berjalan sendiri satu pintu, tidak membuka sama sekali ruang dialog dengan para pihak/stakeholder manapun.

Ketiga, salah satu kelemahan yang sangat mendasar dari omnibus law cipta kerja ialah sangat dikhawatirkan pada praktiknya nanti akan terjadi banyak tumpang tindih dengan berbagai regulasi terkait, baik secara vertikal, maupun secara liniear. 

Hal ini dikarenakan, proses pembahasan omnibus law cipta kerja yang dilakukan secara serampangan, tergesa – gesa, serta tidak mendalam. Sehingga berbagai anasir/pertimbangan filosofis, sosiologis, yuridis dan anasir ideal lainnya yang melandasi sebuah peraturan perundangan-undangan terabaikan secara sistemik.

Dari segi tahapan dan prosedur yang dilalui, omnibus law cipta kerja tidaklah melalui tahap sinkronisasi dan harmonisasi yang optimal. 

Sebagai seorang praktisi legislasi yang juga berkecimpung dibanyak riset ilmiah dalam konteks legislasi dan mengasistensi beragam undang – undang dalam proses legislasi nasional, saya cukup shock ketika pembahasan omnibus law yang terkesan dipaksakan dan dikejar siang dan malam (penyelesaiannya), lalu disahkan dalam waktu yang cukup singkat (on the spot).

Tentu dapat dilihat bagaimana pembahasan dan penyusunan 1 (satu) draft RUU yang sedang (akan) dibahas saja, tanpa menggunakan metode/paradigma omnibus law, membutuhkan waktu yang tidak sedikit, bahkan memerlukan waktu yang cukup panjang pada proses pembahasan dan/atau pada tahap sinkornisasi dan harmonisasi dengan berbagai aturan tekhnis terkait. 

Dan dalam hal ini dapat dibayangkan omnibus law cipta kerja yang notabenenya mem by pass kurang lebih 80 undang – undang dengan 1.245 pasal yang terdampak di dalam 11 klaster yang terkait, dapat diselesaikan dalam tempo kurang lebih 5 (lima) bulan (periode aktif pembahasan). 

Dapat dibayangkan dan mungkin ini merupakan satu – satu nya pembahasan draft RUU (RUU utuh/non revisi) yang diselesaikan dalam tempo tercepat dalam siklus 2 (dua) dekade terakhir pasca reformasi.

Sesungguhnya, harapan hadirnya omnibus law cipta kerja yang dapat meminimalisir over regulated yang terjadi, perlu untuk ditinjau ulang kembali, sebab patut diingat bahwa omnibus law cipta kerja mensyaratkan adanya sekitar 500 aturan turunan, hal mana yang justru akan menimbulkan hyper regulated pada tataran implementasi (pelaksanaan), yang sudah barang tentu juga akan menimbulkan misspersepsi/fallacy serta menambah eskalasi ego (sektoral) kelembagaan terkait.

SOLUSI JALAN TENGAH : JALAN AKHIR

Pada akhirnya, momentum kali ini akan diperhadapkan pada realitas yang cukup sulit, dimana penolakan yang dilakukan melalui berbagai aksi massa/demonstrasi, protes mogok nasional dari kaum buruh, serta berbagai upaya penolakan lainnya dari berbagai kalangan akan memunculkan gejolak dan mobilisasi massa yang tidak dapat diprediksi secara pasti, bahkan tidak mungkin akhirnya akan menjadi public distrust yang luas.

Hal ini tentu akan memunculkan kegaduhan nasional yang sangat rawan dan rentan ditengah wabah pandemi Covid 19, serta sangat potensial akan mempertaruhkan keberlangsungan stabilitas politik dan pemerintahan dari rezim penguasa saat ini.

Oleh karenanya, yang harus dipahami bahwa ‘bola panas’ omnibus law cipta kerja saat ini ada di tangan Presiden. 

Patut dan untuk dimengerti bahwa segala upaya dan arah penolakan dari berbagai element masyarakat seharusnya diarahkan terlebih dahulu kepada Istana Negara atau Presiden, yang mana secara konstitusional memegang kekuasaan untuk membentuk Perppu sebagai solusi jalan tengah di antara distorsi (dalam arti gejolak penolakan yang massive) dan disorientasi (dalam konteks legislasi) yang terjadi.

Omnibus law cipta kerja sudah disahkan dan menjadi undang – undang, sehingga tidak ada urgensi-nya lagi untuk mendesak DPR sebagai mandataris pembentuk undang – undang. DPR sudah selesai, dan oleh karenanya sebagai solusi jalan tengah haruslah mendesak Presiden mengeluarkan Perppu guna mengeksaminasi serta membatalkan paket regulasi omnibus law cipta kerja tersebut.

Meski sulit dan terkesan sebagai mission imposible, namun tidak tertutup kemungkinan sensistifitas yang humanis dan nalar keberpihakan dari Presiden muncul dalam menyikapi polemik ini.

Kemudian daripada itu, jikalau memang solusi jalan tengah guna mendesak Presiden mengeluarkan Perppu tidak tercapai, maka tidak lain solusi jalan akhir ialah dengan mengetuk pintu constitusional review di Mahkamah Konstitusi (MK), the guardian of constitution, yang semoga dapat menguji secara fair konstitusionalitas dari omnibus law cipta kerja tersebut. Semoga !

Oleh : 

RIO CHANDRA KESUMA, S.H., M.H., C.L.A. ***

*** Penulis ialah Praktisi Hukum (Advokat), Staf Ahli Bidang Hukum & Legislasi DPR RI, Peneliti pada CDCS, Center for Democration and Civilization Studies, Kandidat Doktoral & Ketua IMMH Univ. Indonesia,-

riock@rocketmail.com

Share:

No comments:

Post a Comment


Youtube SiniNews

Facebook SINI News

Followers

Subscribers


Postingan Populer

Blog Archive

Comments

Berita Utama

sitemap

Recent Posts