Penyelesaian Konflik Perpecahan Bangsa dalam Persaingan antara Dua Kubu Capres Pasca Pilpres 2019

SININEWS.COM -- Negara Indonesia meilih sistem pemerintahan presidensiil yang sebenarnya memiliki kekurangan dan kelebihan dibanding sistem pemerintahan parlementer. Untuk presidensiil, kita tentu mengetahui jika rasa ketidakpuasan muncul dikalangan masyarakat, masyarakat Indonesia harus menunggu lima tahun berikutnya untuk memilih pemimpin yang akan menggantikan pemimpin yang terpilih. Namun, ada juga keuntungannya jika kita menggunakan sistem presidensial, dimana kondisi politik di pemerintahan bersifat stabil. Berkaca pada sistem parlementer yang PM-nya bisa mengeluarkan mosi tidak percaya di era Soekarno memperlihatkan bahwa parlemen kita saat itu belum siap untuk menggunakan sistem parlementer.

Ketidaksiapan ini, penulis analisis dari adanya unsur politik terlalu kuat dari kubu yang berkuasa di parlementer. Selama bukan golongan mereka yang memimpin di pemeritahan, maka parlemen akan mengeluarkan mosi tidak percaya. Seperti kabinet Djuanda yang dapat dikatakan berhasil dengan deklarasi Djuanda yang menetapkan batas garis pantai Indonesia menjadi 12 mil dihitung dari garis pantai pada waktu air laut surut. Namun, oleh karena beberapa hal, beberapa PM sering mendapatkan mosi tidak percaya dari parlemen dan membuat ketidakstabilan di pemerintahan dalam hal program kerja. Setelah memahami beberapa sebab itu, perlu dipahami adanya keinginan untuk memajukan bangsa harus diumulai dari kesadaran berpolitik di Indonesia yang harus mengedepankan kepentingan bersama.
Untuk itu, dalam rangka menghadapi tahun politik di 2019, masyarakat, pemangku kepentingan, kader partai dan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia diharapkan tidak bersikap fanatic terhadap golongannya yang bisa menjadi salah satu cara untuk menjaga persatuan. Pada Pilpres, banyak pihak-pihak yang ingin ikut campur kedalam pesta demokrasi ini. Terkadang ada pola yang dibuat oleh pihak lain dengan menggunakan primordial agama. Prof Mahfud M.D menyatakan “ jangan sampai persatuan dan keutuhan bangsa dikorbankan demi kepentingan pihak yang ingin berkuasa dalam lima tahun kedepan pasca pemilu. Berfikir positif bahwa setiap pemimpim memiliki kekurangan dan kelebihan masing- masing bisa menjadi peredam isu yang muncul akibat perdebatan antara dua kubu yang bertarung dalam Pilpres.

Menjunjung tinggi nilai-nilai yang berdasarkan kepentingan bersama. Bagi bangsa Indonesia, multikulturalisme adalah suatu keniscayaan dan keharusan. Keragaman ras, suku, bahasa, budaya, dan agama merupakan ciri khas serta kelebihan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain. Namun, akhir-akhir ini ada kecenderungan dari sebagian warga bangsa dan kelompok masyarakat untuk mengingkari sifat multikultur yang sudah melekat pada bangsa Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Hal itu menyebabkan bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada suatu situasi yang meresahkan, yaitu ancaman disintegrasi bangsa. perasaan yang mengikat kohesivitas persatuan masyarakat pulau adalah adanya rasa senasib sebagai satu bangsa.

Nilai itu secara luas tidak hanya diyakini sebagai landasan filosofis bersama, tetapi juga merupakan reaksi politis (Conversi, 2007: 73). Oleh karena itu, nasionalisme mencakup tiga proposisi antara lain; (1) Identitas nasional yang benar-benar merupakan bagian dari identitas pribadi; (2)
Adanya kewajiban yang terbatas kepada sesama warga negara; (3) Adanya klaim penentuan nasib sendiri secara politik (Conversi, 2007: 75). Memiliki identitas nasional berarti menganggap diri sebagai milik sebuah komunitas yang dibentuk oleh kepercayaan bersama, berada dalam satu cerita sejarah yang sama, bersifat aktif, terhubung dengan wilayah tertentu, dan ditandai dengan sifat yang khas oleh para anggotanya. Mengedepankan sikap guyub, gotong royong dan nilai-nilai kebersamaan.

Memperbaiki sistem pemilihan umum di Indonesia juga perlu dilakukan dalam menghadapi Pilpres yang semakin panas. Menurut Affan Gaffar memberikan parameter tentang sistem pemilu yang ideal, diantaranya: (1) demokrasi dalam sistem pemilu secara implisit dapat dilakukan secara adil adil dan jujur serta pemilu yang berkualitas; (2) out put pemilu harus berkualitas dan kompetitif serta akuntabilitas yang tinggi; (3) derajat keterwakilan dengan perimbangan antara pusat dan daerah; (4) peraturan perundang-undangan haruslah tuntas; (5) pelaksanaan pemilu bersifat praktis dan konkrit.

Secara sosiologis dan kultural masyarakat Indonesia memang merupakan masyarakat plural yang memiliki potensi besar bagi munculnya konflik dan perpecahan jika tidak dilandasi oleh multikulturalisme. Konsep ini serupa dengan “Bhinneka Tunggal Ika”.9 Meskipun masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang pluralistik dari sisi ras, etnis, bahasa, status sosial, kepercayaan, dan sebagainya, namun merupakan suatu kesatuan guna mencapai tujuan bersama dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Multikulturalisme biasanya fokus pada dialog kebersamaan, rasa toleransi, dan adanya kesetiaan untuk menjaga keberagaman di Indonesia. Salah satu aspek dari upaya merawat kebhinekaan adalah adanya perasaan bangga terhadap jati diri bangsa. Kebanggaan nasional dianggap sebagai konsekuensi logis atas keberhasilan negara dalam menyelenggarakan pembangunan nasional untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat. Hal-hal yang menghambat kemajuan politik di Indonesia dapat dijadikan sebagai referensi agar menemukan model yang terbaik dalam meghadapi pemilu yang rentan akan pemecah belah bangsa. Politik transaksional yang terjadi berlapis-lapis (bertingkattingkat), umumnya antara Partai Politik dengan Individu yang berniat menjadi Pejabat Publik, serta antara Partai Politik untuk pengisian posisi Pejabat Publik tertentu. Dikaitkan dengan Pemilihan Umum Anggota Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden), Politik transaksional bisa terjadi 4 sampai 5 kali, yakni: a) Pada saat mengajukan calon-calon anggota legislatif; b) Pada saat mengajukan calon Presiden dan calon Wakil Presiden karena ketentuan Presidential Treshold; c) Setelah diketahuinya hasil Putaran Pertama Pemilihan Umum Presiden (jika dibutuhkan Putaran Kedua); d) Pada saat pembentukan kabinet; e) Pada saat membentuk semacam koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat yang kemudian menjadi sejenis prototipe untuk koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (tingkat I dan II), antara lain untuk alokasi jabatan dan sebagainya.

Biaya politik yang amat tinggi, mubazir, tidak dilaksanakan dengan transparan dan jujur oleh para pelaku dan donaturnya, serta tidak dapat diawasi dengan efektif oleh institusi yang berwenang melakukannya; Di dalamnya terdapat komponen biaya promosi/publikasi dan kampanye yang amat berlebihan (Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebutkan bahwa untuk kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah Jawa Timur telah dihabiskan biaya sekitar 1 Trilyun Rupiah dalam acara “ILC” HUT TV One, 14 Februari 2013).
Politik uang yang meruyak. Akibat politik transaksional di antara elit politik dan para calon pejabat publik disertai penghamburan biaya politik yang amat berlebihan, akhirnya berlanjut dengan strategi instan “membeli suara publik” dan hal ini pada sisi lain dilihat sebagai kesempatan oleh sebagian publik untuk juga melibatkan diri dalam politik uang (money politics), baik untuk ikut serta dalam aneka acara kampanye dan pencitraan maupun untuk menawarkan pilihannya dalam suatu Pemilihan Umum. Korupsi politik yang memperlihatkan fenomena (poros) Pembiayaan Politik Partai dikaitkan dengan Komisi dari Anggaran Proyek Kementerian dan Lembaga yang umumnya dibahas/diputuskan di Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah. Sementara Pejabat Eksekutif menutupi biaya tinggi untuk transaksi memperoleh “tiket” atau “perahu” mengikuti Pemilihan Kepala Daerah, serta biaya pencitraan dan kampanye yang tinggi, dengan mengalokasikan proyek-proyek di daerahnya khususnya terhadap sumber daya alam dengan nuansa praktik balas budi terhadap donatur atau praktik koruptif lainnya. Hal ini juga diperkuat dengan Pernyataan Tokoh- Lintas Agama pada September 2012 yang menyebut dan mengaitkan korupsi politik sebagai akibat sistem pemilihan umum yang terjadi saat ini.

Selain itu, Tidak ditegakkannya atau diperkuatnya sistem presidensial yang sesungguhnya. Di dalam sistem Pemerintahan Presidensial terdapat beberapa prinsip, antara lain: 1) Kepala negara menjadi kepala pemerintahan (eksekutif); 2) Pemerintah tidak bertanggung jawab kepada Parlemen (DPR) karena Parlemen dan pemerintah sejajar; 3) Menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden; 4) Eksekutif dan legislatif sama-sama kuat. Sistem pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 adalah Sistem Presidensial. Beberapa ciri penting Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia antara lain: Presiden memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (vide Pasal 4 ayat 1 UUD NRI 1945),presiden dan wapres dipilih langsung oleh rakyatnya (vide Pasal 6A ayat (1) UUD 1945), Masa jabatannya tertentu (vide Pasal 7 UUD 1945), Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen (melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat), dalam hubungannya dengan parlemen presiden tidak tunduk kepada parlemen, dan tidak dikenal adanya pembedaan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan.
Kesimpulan

Dalam menghadapi Pemilihan presiden di tahun 2019, perlu difokuskan oleh kedua kubu untuk tidak menggunakan isu SARA, penyebaran hoax, dan berbagai hal yang dapat memicu munculnya perpecahan dikalangan masyarakat. Indonesia dengan multikulturalisme serta kemajemukan masyarakatnya jangan sampai terpecah belah oleh karena hal berbeda pendapat tentang calon yang akan diusung. Jangan sampai kepentingan politik berada diatas kepentingan masyarakat. Untuk para pemimpin bangsa dan calon pasangan yang akan berkompetisi di Pemilu 2019, diharapkan mengedepankan dialog untuk kemajuan bangsa dan solusi yang bersifat membangun. Dibandingkan sibuk mencari kesalahan kekurangan dari kubu lawan, alangka baiknya memberi solusi demi Indonesia yang lebih maju. Untuk merefleksikan masyarakat Indonesia pasca Pilpres tahun 2019, pemerintah dan segenap elite politik diharapkan menyudahi isu-isu yang belum jelas kebenarannya di tahun mendatang setelah menemukan pemimpin bangsa yang menang dalam pesta demokrasi tahun 2019.

Cerdas dan berbudi luhur pada dasarnya sangat mungkin diaplikasikan dalam aktivitas politik agar dapat menciptakan wajah pepolitikan yang santun, bertanggung jawab, jujur, toleran, welas asih, dan gotong royong. Namun upaya ke arah tersebut membutuhkan kualitas manusia yang utama dan hal itu dapat dikonstruksi dengan mengajarkan dan mengamalkan nilai-nilai kebudiluhuran serta menaati perintah dan menjauhkan laranganlarangan Tuhan. Mari kita perjuangkan perilaku politik di negeri Indonesia tercinta ini secara cerdas dan berbudi luhur. (Umaimah Wahid 2018)
Share:

No comments:

Post a Comment


Youtube SiniNews

Facebook SINI News

Followers

Subscribers

Postingan Populer

Blog Archive

Comments

Berita Utama

sitemap

Recent Posts